Dark Light

Blog Post

Ulinnuha > Ramadhan > Akibat Tidak Shalat Witir !

Akibat Tidak Shalat Witir !

Pada umumnya, umat Islam seantero jagad telah mengenal shalat witir. Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, shalat witir menjadi ritual penyempurna dari rangkaian ibadah shalat isya’, ba’diyah isya’, dan shalat tarawih secara berjamaah. Namun, kerap kali shalat witir terabaikan selepas Ramadhan, hanya segilintir yang tetap menjalankannya (istiqamah). Ini bisa jadi memang umat Islam malas, atau tidak mengerti besarnya ganjaran pahala shalat witir. Maklum iming-imingan pahala masih menjadi idola untuk mengajak orang lain melakukan kebaikan.

Padahal, waktu pelaksanaan shalat witir terbilang cukup panjang dibanding shalat-shalat sunnah yang lain, yakni setelah shalat isya’ hingga menjelang shubuh. Kalau pahalanya gimana? Baik, sebelum menjawab pertanyaan tadi, ada baiknya sedikit melihat sejarah bangsa Arab yang menjadi tempat lahirnya agama Islam.

Dahulu, alat transportasi umumnya bangsa Arab adalah unta. Namun ada satu jenis unta yang unik, bahkan dibilang jarang, di mana mereka mengistilahkannya dengan sebutan unta merah (humrun na’am). Apabila induk unta berhasil melahirkan unta merah, maka sang pemilik unta itu ibarat mendapatkan keberuntungan yang sangat besar. Karena tidak lama lagi para aristokrat, elit politik, konglomerat atau para pembesar bangsa Arab akan bertaruh dengan harga yang sangat mahal untuk memiliki unta merah tersebut. Pakar sejarah mengatakan, bangsa Arab menganggap unta merah adalah harta yang paling mulia dan teristimewa.[i] Keterangan ini juga diungkapkan al-Nawawi pada salah satu karyanya al-Minhaj Syarh Shahih Muslim.[ii] Kalau saat ini, mungkin unta merah seperti kendaraan termahal di dunia, boleh jadi Lamborghini, Porsche, Mclaren, atau apalah merek mobil tergagah itu

Nah, Nabi Muhammad Saw. pernah menyebut unta merah (humrun na’am) dalam salah satu sabdanya:

فَوَ اللّٰهِ لَأنْ يَهْدِيَ اللّٰهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَّكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk oleh Allah (hingga masuk ke dalam agama Islam) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.”[i]

Merupakan suatu keberuntungan yang sangat besar ketika seseorang mampu mengajak orang lain masuk ke dalam agama Islam. Kemuliaan yang ia dapatkan jauh melebihi harta termahal di dunia, atau lebih mudahnya, Allah memberikan ganjaran kepadanya jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya, di mana Nabi mengistilahkan kemuliaan yang sangat besar itu dengan ungkapan “lebih baik dari unta merah”.

Hanya saja, untuk mengislamkan orang lain itu bukan perkara yang mudah, paling tidak ia harus paham al-Qur’an sekaligus menguasai ilmu-ilmu cara menafsirkan al-Qur’an. Begitu juga harus paham sejarah Islam, belum lagi mahir dalam ilmu hadis, bukan asal “shahah-shahih” saja. Lebih jauh ia juga harus mempelajari rumus-rumus perbandingan agama, barang tentu sedikit banyak mempelajari Kitab agama lain, ditambah lagi jago beretorika saat adu argumentasi.

“Maaf, ada kok cara mudah mengislamkan seseorang, ajak saja menikah”. Hmmm, ini sih masih abu-abu, entah karena cinta atau sudah tulus hatinya memilih Islam. Eh tapi ga mudah juga, ya paling tidak harus punya uang banyak atau jago merapal kata-kata cinta, alias bucin. hehe

Tapi kabar baiknya, kita punya Tuhan Yang Mahabaik. Allah memberikan pahala seperti mengislamkan seseorang hanya dengan melakukan satu ibadah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

إِنَّ اللَّهَ أَمَدَّكُمْ بِصَلاَةٍ هِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ: الوِتْرُ، جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ العِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الفَجْرُ

“Sesungguhnya Allah menambahkan untuk kalian satu shalat yang apabila kalian lakukan maka itu lebih baik daripada UNTA MERAH, yakni shalat WITIR. Allah menetapkan waktu pelaksanaannya antara shalat isya’ sampai menjelang shalat shubuh.”[i]

Hadis pertama, Nabi Saw menjelaskan bahwa pahala mengislamkan seseorang itu lebih baik dari unta merah. Sedangkan hadis kedua, Nabi Saw menjelaskan bahwa shalat witir pahalanya lebih baik dari unta merah. Dengan demikian, shalat witir itu sebanding pahalanya dengan mengislamkan seseorang. Sampai sini paham kan?

Oleh karenanya, kita yang sudah terbiasa shalat witir di bulan Ramadhan, maka sangat ditekankan menularkan kebiasaan tersebut di luar bulan Ramadhan. Pahalanya sedemikian besar, ibarat mengislamkan orang lain, lebih baik dari unta merah, alias lebih baik dari dunia dan seisinya, bro.

Andai masih enggan juga melaksanakan shalat witir, coba renungkan hadis berikut:

الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

“Shalat witir memiliki hak pada diri setiap muslim, siapa saja yang ingin shalat witir lima rakaat maka lakukanlah!, siapa yang ingin tiga rakaat maka lakukanlah!, siapa yang ingin satu rakaat maka lakukanlah!”.[i]

Mau lima rakaat itu baik, tiga rakaat juga baik, atau mungkin badan sudah lelah beraktifitas tapi kadung ingin istiqamah menjalankan sunah, ya sudah lakukan saja shalat witir satu rakaat. Apa ada alasan lagi untuk tidak shalat witir?

Bagi yang ingin melaksanakan shalat witir selepas isya’, itu juga baik, ini skema witir yang dilakukan Abu Bakr al-Shiddiq dan Utsman bin ‘Affan, atau ingin witir sebagai penutup ibadah shalat tahajjud, ini juga baik, Umar bin Kaththab dan Ali bin Abi Thalib melaksanakannya demikian.[i]

Nah, kesimpulannya, mari kita raih pahala yang sebesar-besarnya hanya dengan melakukan ibadah yang ringan, yakni shalat witir. Jangan disepelekan ibadah yang satu ini, akibatnya kita kehilangan kesempatan emas untuk meraih pahala mengislamkan seseorang, barang tentu itu lebih baik nilainya di sisi Allah dari pada dunia dan seisinya, rugi mas...


[i] Ilyas Mubarak, al-Jawahir Nafisah, hal. 16.


[i] Abu Daud, Sunan Abi Daud, Jilid 2, hal. 62.


[i] At-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Jilid 1, hal. 574.


[i] Muhammad al-‘Utsaimin, Syarh Riyadhusshalihin, Jilid 2, hal. 362.


[i] Muhammad Syamsul haq, ‘Aunul Ma’bud, Jilid 4, hal. 206.

[ii] Al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Jilid 15, hal. 178. Muhammad al-‘Utsaimin, Syarh Riyadhusshalihin, Jilid 2, hal. 364.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *